Model bisnis dan sistem transportasi berbagi tumpangan (ridesharing) pertama kali hadir di Indonesia tahun 2014, menghadirkan pilihan mobilitas yang andal, nyaman, dan terjangkau bagi penumpang dan menciptakan kesempatan ekonomi yang fleksibel bagi mitra-pengemudi.

Uber dan aplikasi ridesharing lainnya berkembang pesat karena kehadiran kami melengkapi transportasi publik yang ada dan mengubah kehidupan warga menjadi lebih baik: mulai dari meningkatkan kesejahteraan, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, menghubungkan warga dan menunjang sektor pariwisata. Semua tanpa membebani anggaran pemerintah.

Ridesharing telah diatur sejak tahun 2016 (dengan Permenhub 32/2016 dan revisinya: Permenhub 26/2017) dan kami mengapresiasi langkah pemerintah untuk menetapkan panduan dan aturan untuk model bisnis yang baru ini. Namun, revisi aturan tersebut justru berisiko menghambat berbagai manfaat yang dihadirkan ridesharing kepada para penumpang, mitra-pengemudi dan kota-kota kita.

Beberapa manfaat ridesharing adalah sebagai berikut:

  • Penumpang bisa menghemat 65% dari biaya dan 38% dari waktu perjalanan dengan menggunakan aplikasi Uber dibandingkan saat menggunakan kendaraan pribadi.
  • 43% dari mitra-pengemudi bukan berasal dari angkatan kerja sebelum bermitra dengan Uber – 28% di antaranya pengangguran. 61% dari mitra mengemudi bersama Uber < 10 jam per minggu.
  • 6% penumpang telah berhenti menyetir kendaraan pribadi dan 62% kini mengurangi frekuensi menyetir kendaraan pribadi setelah menggunakan Uber.
  • 20% dari perjalanan di Jabodetabek diawali dan diakhiri di area-area yang tidak diakses kendaraan umum dan 30% perjalanan di Jakarta terjadi pada pukul 22:00-02:00 saat transportasi publik sangat terbatas;
  • Perjalanan di Indonesia telah digunakan oleh pengunjung dari 76 negara.

(Sumber: Uber dan riset AlphaBeta)

Ini adalah beberapa alasan mengapa pendekatan yang digunakan dalam revisi peraturan ini perlu dipertimbangkan ulang:

  • Pembatasan kuota kendaraan dan biaya perjalanan serta beratnya persyaratan – seperti pengalihan kepemilikan kendaraan – menghalangi warga biasa yang ingin berbagi tumpangan dan membatasi akses warga terhadap layanan mobilitas yang terjangkau dan nyaman.  Hal-hal ini tidak sejalan dengan semangat pemerintah untuk menggalakkan ekonomi kerakyatan dan berbeda dengan pandangan pemerintah kota DKI Jakarta pada tahun 2016 untuk menghapus kuota dan batasan tarif taksi demi terciptanya persaingan yang sehat serta memandang kuota dan biaya perjalanan ridesharing tidak perlu diatur  karena melihat perbedaan model bisnisnya; 
  • Persyaratan-persyaratan seperti pengalihan kepemilikan kendaraan, pemasangan kartu identitas dan nomor kontak pelanggan di interior mobil dan sticker di kendaraan tidak memiliki manfaat langsung bagi keselamatan dan kenyamanan. Dan mungkin tidak lagi relevan karena kami menggunakan teknologi untuk meningkatkan keselamatan sebelum, selama dan setelah perjalanan dengan cara-cara yang tidak dimungkinkan sebelum era ponsel pintar.
  • Persyaratan akses data realtime perlu dikaji ulang karena merupakan informasi bisnis yang sensitif serta dapat melanggar hak privasi pengguna individu aplikasi Uber. Sangat penting juga pemerintah bisa mempertanggungjawabkan bagaimana informasi ini akan digunakan.

Indonesia adalah negara yang dikenal terbuka dengan tren ekonomi global, teknologi baru dan mendorong ekonomi kerakyatan, namun dengan revisi aturan-aturan ini, Indonesia tidak bisa mengambil manfaat penuh dari model bisnis dan inovasi ridesharing. Kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan para pelaku industri dan pemerintah untuk mencari jalan ke depan yang memungkinkan perusahaan-perusahaan teknologi seperti kami dapat mengubah kehidupan warga menjadi lebih baik.